Laman

Minggu, 16 Desember 2018

Hikmah

Sebetulnya saya punya banyak keinginan untuk menulis berbagai kegiatan 2 hari terakhir.

Dari mulai HD rutin, lahiran putra pertama istri adik saya, mati meteran listrik, hingga reumi SMA di Leuwiliang.

Tapi faktanya bahwa untuk menulis diperlukan cukup banyak energi.

Memikirkan kronologis kejadian, hipotesa, analisa, kesimpulan, hingga hikmah yang bisa diambil dari berbagai kejadian itu.

Jadi saya akan menuliskannya dalam beberapa tulisan.

Pelajaran yang bisa didapat dari suatu kejadian merupakan awal dari kebijaksanaan yang akan sangat berguna di kemudian hari.

You know guys, hikmah inilah yang sangat penting. Berguna untuk kehidupan manusia di masa depannya, bahkan hingga pada keturunannya.

Terkesan berlebihan dari sebuah pelajaran hikmah?

Tidak juga.

Buktikan saja sendiri. Beragam dampak negatif dari kesalahan yang kita lakukan harusnya menjadikan kita berpikir 2x untuk melakukan kesalahan-kesalahan tadi.

Itulah hikmah.

Agar kita tak terjatuh di lubang yang sama.

Terima dampak dari kejadian dengan ikhlas ridho, sebagai taqdir dari Allah. Kemudian ambil hikmah, lalu lakukan perbaikan.

Sekarang.
Hal sekecil apapun itu.

Minggu, 09 Desember 2018

Balik ke 130

Sudah 2-3x HD terakhir tensi saya sudah balik ke kisaran 130an/90. Terhitung normal buat saya.

Alhamdulillaah. Sekali lagi harus saya tanyakan pada diri saya, 3 bulan kemarin tensi rendah tuh kenapa? Apa penyebabnya?

Masih belum terjawab sampe sekarang. Namun, kasus tensi jatuh sebelumnya mengakibatkan cimino hilang. Masih trauma saya.

Alhamdulillaah kali ini cimino bagus. Tak ada masalah ketika digunakan.

Mudah-mudahan tensi selalu stabil dan cimino tetap bagus, lancar digunakan. Aamiin..

Minggu, 02 Desember 2018

Imam

Alhamdulillaah. Terima kasih.

Itu yang sempat terpikir dan terucap pada anak-anak yang pernah kuajar di tahun 2013 silam.

Kemarin Satria menghubungi saya via Messenger FB. Namun, sulit dilanjut karena entah sinyal atau karena apa. Saya belum tau apa maksud pesannya.

Barulah beberapa jam kemudian, Imam mengirim pesan whatsapp. Dia bilang bahwa dia dan beberapa teman sekelasnya ingin silaturahim ke rumah.

Saya mempersilakan. Pintu rumah terbuka untuk mereka. Saya senang, karena setelah 5 tahun tak bersua, mereka masih mengingat saya sebagai guru.

Mereka datang sekitar 11.30an siang. Ada Imam, Taufik, Yaki, Satria, Dena, Dita dan Sarah.

Masing-masing membawa jalan cerita yang berbeda. Selepas SMA,
ada yang langsung bekerja, sempat menganggur dulu, kuliah, magang pasca kuliah, bahkan ada yang baru saja resign.

Luar biasa.

Mendapat kunjungan mereka, membuat saya kembali pada momen-momen ketika mengajar di sekolah. Mengajar anak-anak SMA itu menyenangkan, menantang. Saya suka.

Saya suka mengajar.

Yang tak saya suka adalah bagian administrasi keguruan dan tektek bengek yang njelimet. Rumit dan gak menyenamgkan sama sekali. Saya faham catatan progress pendidikan tetap harus rapi tercatat. Tapi untuk model administrasi sekolah waktu itu, 2013, gak banget deh.

Mungkin, saya emang gak bakat jadi guru, hehe.. Kurang sabar menghadapi segala macam urusan administrasi sekolah.

Imam dkk pulang sekitar jam 2.

Saya doakan agar mereka sehat selalu, sukses dalam usaha dan karirnya. Aamiin.

Jumat, 30 November 2018

Kertas Putih

Berhadapan dengan kertas putih selalu menantang saya. Dia membuat saya berpikir keras, apa yang saya pikirkan, apa yang saya inginkan, apa yang saya butuhkan, apa yang saya cita-citakan.

Seringkali hanya berakhir dengan satu titik di kertas, atau berakhir dengan sebuah coretan tak jelas apa maknanya. Kalau saya langsung menggunakan MsWord,  hanya akan berakhir dengan satu huruf, lantas dihapus. Lalu diganti menjadi satu kata. Lalu, keluar dari file, dan file itu langsung dihapus. Dibuang ke Recycle bin.

Ya, menantang, buat saya. Sebab dengan menulis itu, kita distimulasi untuk senantiasa berpikir, well  entah apa disebutnya, retoris, analis, kronologis, runut, dan entah apalagi. Yang jelas, ketika membahasa sesuatu, kita harus mengetahui secara mendalam dan mendetil, sekaligus luas dalam  melihat. Bisa disebut dengan istilah, integral dan holistik.

Seperti yang sedang saya tulis ini. Sebetulnya, apa yang saya bahas ini ya? Hahaha!

Sebuah catatan di pagi hari.
Semangat terus yaw!

Minggu, 25 November 2018

Menulis itu

Menulia itu membaca diri.
Menulis itu membaca jiwa.
Menulis itu menyenangkan.
Menulis itu tentangku, kita, mereka, dan dunia!
Menulis itu dariku untuk kamu.

Supaya kamu tahu, kegembiraan jiwa ini kala bersamamu.

Jumat, 23 November 2018

Tokomissita.com

Kami, saya dan istri, memiliki usaha bernama tokomissita.com. Kami ingin menumbuhkembangkan usaha kami hingga terus membesar dan mandiri.

Sehingga nanti dia akan bermanfaat untuk banyak orang. Sebanyak mungkin.

Klik ya tokomissita.com ...

Jangan Menyerah Bro!

Sobat kreatif semua,
Senang ya bisa menulis apa-apa yang menjadi buah pikiran saya.

Melalui kegiatan blogging ini, banyak hal yang saya bisa ungkapkan. Tentang apa yang saya alami, apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan, dll.

Sepekan kemarin saya dan nyonya sibuk banget dikejar deadline terjemahan.

Jadi gini ceritanya. Kita tuh kan freelancer di sebuah lembaga riset marketing. Tapi kita tuh bagian terjemah dan transkrip.

Tugas kita sebelumnya adalah meng-convert file audio berbahasa Indonesia menjadi teks berbahasa inggris. Ini mudah. Satu file saya kerjakan dalam waktu 24 jam lah. Kemampuan nyonya juga kurang lebih sama.

Nah, minggu kemarin itu ada tugas jenis baru: membuat transkrip bahasa indonesia dari sebuah video berbahasa indonesia. Ini lebih sulit. Sebab banyak kata yang gak jelas terekam dengan baik. Dan tambah pula durasinya lama bingiiit...

Tapi yang paling bikin keberatan adalah harus semua kata yang diucapkan di dalam video itu, dicatat. Syeeekkhh.....!!! Maknyusz pegel banget! Banget banget banget..

Durasi video 2 jam, dalam kondisi kegiatan workshop diskusi kelompok.. Cadaaasz! Definitely hard to write them down!

1 video bsa diselesaikan sekitar 2 hari. Nah ini ada 4 video broh! Ditambah pula, karena miskom, ada tambahan kerjaan file baru terjemahan. Nambah-nambah deh!

Cuappeeee benerrrr...
Teparr...!

Sambil ngemil-ngemil brownies keringya tokomissita.com, kita terus berjuang bertekad menyelesaikannya, meskipun dari deadline kita molor beberapa hari.

Bala bantuanpun didatangkan. ada yang angkat tangan, ada yang ikut menuntaskan. Mantaaab! Salut deh!

Beres semua kerjaan terjemahan, eh, dari sono dateng lagi kerjaan. Dengan sigap saya bilang ke nyonya, "Stop dulu! Jangan terima dulu. Jeda beberapa hari ke depan untuk istirahat.."

Kini, kita sudah mulai pulih dan semua berjalan normal lagi.

Tensi Masih Enggan Normal

Yuk ah sobat. Mari nikmati hari-hari bersama tensi rendah. HD kemaren aja sy sempet distop dulu HDnya karena sang tensi hanya 90/70.

Alhasil distoplah ama suster Asna. Saya istirahat sejenak, minum teh manis.

Setengah jam kemudian, saya cek tensi lagi hanya naik jadi 110/70. Waduh, susah juga naikin tensinya.

Tensi tinggi ga nyaman banget. Tensi rendah juga ya ga enak juga.

Ngemut-ngemut gula aah...

Minggu, 28 Oktober 2018

100/70

Sobat, udah 2 pekan terakhir ini tensi saya Cuma di kisaran 100/70. Kurang lebih. Tak jauh dari itu.

Kenapa ya?

Padahal, saya pasien hemodialisa dari hipertensi. Tensi saya yang ‘normal’ ada di kisaran 140/100 biasanya. Paling bagus, tok di 130/100, tapi jarang banget.

Nah, dua pekan belakangan tensi saya selalu rendah.

Saya kuatir cimino kedua saya ilang euy. Sebelunya, cimino yang pertama jugga ilang gara-gara tensi saya terus-terusan rendah.

Jadi pertanyaan ini. Kenapa ya?
Sambil menulis ini juga saya sambil muhasabah. Mengevaluasi diri. Kira-kira, ada salahnya di mana. Tapi sampe sekarang belum ketemu juga..

Hadeuh..

Jumat, 26 Oktober 2018

Cerita Pagi

Halo sob, apakabar?
Semoga kalian baek-baek aja ya..

Lagi pengen nulis nih. Saya ketik di word aja dulu ah. Ntar baru di-copas ke blog.

Gada yang special sih. Cuma kebetulan lagi mood aja. Haha..

Sebagian orang yang hobi menulis, mereka menuliskan sesuatu biasanya di malam hari. Saat di mana senmua aktivitas telah tuntas dikerjakan. Saat menikmati waktu rehat sambil menikmati secangkir the hangat di tengah cuaca malam yang dingin.

Tapi kalo saya, aduh… Malam tuh… gimana ya. Kalo sudah lewat dari maghrib, badan tuh kayak udah ga respon. Gak mau diajak berpikir. Just wanna take a bed aja. Jadi yaaa jam segini ini saya menulis. Sekarang saya menulis catatan ini jam 9.10 pagi.

Waktu-waktu di mana oranng-orang sedang bersemangat-semangatnya bekerja.. hahaha..

Sementara saya di rumah ibu sedang berada dalam keheningan. Ditemani suara deru kendaraan di jalan raya di balik rumah depan.

Tenang. Nyaman.

Yeah, walopun sesekali motor-motor kurir pada lewat, tak apalah.

You know sob,
Pagi ini
Hari ini, semangat aja dulu!
Raih target besramu hari ini sob.

Gak usah tunggu besok.

Semangaaat!

Senin, 19 Maret 2018

Sosok dalam Lift

Kali ini saya mau cerita tentang pengalaman saya beberapa bulan lalu. Tanggal pastinya saya lupa. Yang jelas waktu itu hari saya HD. Jadi, kalo ga Rabu, ya Sabtu. Hahaha! Pilih sendiri aja ya..

Jadi  gini, waktu itu jadwal saya HD. Kebetulan saya ditangani oleh Pak Suwanda, salah satu perawat senior di HD. Saya mengenalnya sudah lama. Dari awal saya HD, saya sering ditangani Pak Wanda.

Pak Wanda dan Istri saya


Sekedar flashback, saya ingat banget, dulu Pak Wanda adalah perawat pertama yang nusuk fistula ke saya tanpa obat bius. “Abis,” alasannya. Yaaa, saya sih antara percaya gak percaya juga. Gak percayanya, masa RS sebesar PMI kehabisan obat bius? Tapi setelah beberapa waktu mengamati sistem restok peralatan dan perlengkapan Hemodialisa di sana, ya pernyataan Pak Wanda bisa diterima juga.

Tapi saya gak mau bahas tentang obat bius ataupun sistem restok ya. Saya mau bahas yang lain.

Sudah lumayan lama Pak Wanda bertugas di ruang hemodialisa lantai 3. Sedangkan saya pasien lantai 2. Nah, sekalinya Pak Wanda tugas di lantai 2, dia berkali-kali menangani saya.

Sambil menunggu Pak Wanda memasang selang-selang dan tabung dialiser di mesin HD, saya ajak ngobrol.

“Pak, gimana kabar Bu Uum?” tanya saya. Kalo saya menyebut Bu Uum, maka artinya ada 2 Bu Uum yang dikenal Pak Wanda. Yang satu adalah pasien HD, sama seperti saya. Yang satunya lagi adalah Kepala Perawat RS PMI, bosnya Pak Wanda.

Yang ditanya mengernyitkan dahi. Tanda dia bingung, siapa Bu Uum yang saya maksud.

Lalu, saya memperjelas dengan berkata, “Bu Uum pasien, Pak. Yang di lantai 3.”

Saya menanyakan kabar Bu Uum karena sejak beliau pindah lantai, kami nyaris gak pernah ketemu dan saling sapa.

Sosok Bu Uum itu sosok yang sangat tegar menghadapi gagal ginjal dan kenyataan hidup. Dia tak pernah ditemani keluarganya ketika HD. Suaminya sudah tiada. Anak-anaknya tak ada yang berkesempatan menungguinya ketika HD karena harus bekerja. Bu Uum sangat faham, meski anak-anaknya sudah berkeluarga, tapi mereka bukan dari kalangan berada. Masing-masing harus sama-sama berjuang menghidupi keluarga. Jadilah, Bu Uum seorang diri ketika HD.

Bu Uum

Paling bagus, beliau hanya diantar anaknya sampai pintu lobi PMI, sekalian anaknya berangkat bekerja. Sementara nanti ketika pulang HD, di saat kondisi fisik masih lemas pasca-HD, dia berjalan sendirian. Perlahan. Hingga ketemu angkot.

Okelah, kalau kondisi beliau sedang baik saya gak begitu prihatin. Yang kadang bikin saya sedih adalah kondisi di saat beliau lemas, ngap, agak sesak napas. Beliau datang sendiri, berjalan dari lobi menuju ruang HD sambil membawa bekal seadanya.

Pokoknya... wonder woman lah!

“Hoo, udah gak ada, Bay,” kata Pak Wanda seraya menusukkan fistula ke tangan saya. Saya meringis pelan, sebab kali itu rupanya agak terasa tusukan jarumnya.

“Udah meninggal, Pak?” saya coba memperjelas kata-kata Pak Wanda tadi.

Pak Wanda diam, hanya menggerakkan kedua bibirnya, tanda mengiyakan pertanyaan saya.

Saya diam. Sedih mengingat-ingat sosoknya yang kadang lugu dan lucu, namun sedikit bawel. Astaghfirullaah, kadang saya suka becandain beliau juga.

Yah, Bu Uum.... kata saya dalam hati. Sedih.

***

Alhamdulillah proses HD saya hari itu lancar. Tak ada kendala apapun. Hanya saja, pasca HD, kepala saya pusing. Badan saya masih lemas. Saya berjalan menuju timbanganpun sempoyongan. Penglihatan saya masih kedip-kedip semu gelap dan buram. Bukan hanya karena kondisi setelah HD, tapi juga karena minus mata kiri dan kanan, serta pandangan agak berkabut di mata kanan (Mungkinkah katarak??)

Saya berjalan perlahan keluar ruang HD. Duduk di bangku tunggu. Lalu memakan sisa bekal agar nanti pulang HD gak keanginan. Saya pulang bersama Bapak pakai sepeda motor.

Usai istirahat sejenak dan menghabiskan bekal, saya berjalan menyusuri lorong. Sementara bapak menggunakan tangga, duluan ke arah parkiran motor. Kami berpisah arah.

Saya berjalan pelan-pelan menuju lift. Kedua lutut dan kaki masih agak terasa sakit. Waktu itu saya belum pulih betul nyeri di kaki.

Saya tekan tombol turun lift. Lalu bersandar di tembok dekat lift. Menyandarkan punggung yang masih terasa pegal. Rasa pusing dan kondisi pandangan setengah gelap membuat saya terus menunduk lemas.

Lift berbunyi, lalu pintunya terbuka. Gak ada orang lain yang masuk ke dalam lift waktu itu. Hanya saya sendirian. Saya masuk. Langsung menekan tombol 1.

Kondisi masih lemas dan pusing. Kepala saya wktu itu terasa berat. Saya berdiri menyandarkan diri di dinding lift dekat tombol-tombol lift. Tak mau bergerak ataupun bergeser. Sulit.

Di tengah sunyi kesendirian itu, tiba-tiba terdengar suara dari belakang saya.

“Udah pulang, pa?”

Sedikit lemas dan buram, saya menoleh ke belakang dan samar-samar saya mendapati sosok Bu Uum di sana.

Astaghfirullaahal’adziim...!!! saya berteriak dalam hati. Suara saya tersekam di tenggorokan. Gak keluar sama sekali.

Sepersekian detik, saya membelalakkan mata. Memaksanya terbuka lebar. Memastikan sosok itu adalah benar-benar Bu Uum. Maksud saya, Bu Uum yang masih hidup. Seorang manusia.

Benar. Itu Bu Uum. Kakinya masih menjejak di lantai lift. Bayangannya pun ada di dinding lift.

Saya tersenyum padanya. “I, iya, Bu. Alhamdulillah lancar,” saya menjawab. Lalu saya berbasa basi bertanya, “Sendiri bu?”

Pertanyaan bodoh dari saya. Sebab semua orang tahu beliau selalu sendiri.

Keluar dari lift saya tersenyum-senyum sendiri. Lemas, pandangan buram, kaki nyeri, namun senang melihat sosok Bu Uum, ngeri-ngeri sendiri dengan pengalaman tadi, dan sedikit geram.

Pak Wanda, awas ya nanti ketemu lagi...!

Jumat, 16 Maret 2018

Back to Femoral

Rabu kemarin, 14/3, saya memulai pagi dengan sehat ceria. Alhamdulillaah. Tak ada yang istimewa, pun tak ada yang mengganjal hati. Everything goes on so so..

Saya berangkat ke PMI dianter Bapak. Bertemu kemacetan jalanan Kota Bogor. Seperti biasa. Ada dua titik kemacetan waktu itu: satu di daerah Panaragan dekat pom bensin. Yang satunya di daerah Merdeka, sekitar 1 kilometer menuju stasiun Bogor. Orang-orang sibuk bekerja. Berpacu dengan waktu.

Sesampainya di halaman lobi RS PMI Bogor saya berjalan perlahan memasuki lobi. Saya menyusuri lobi RS PMI bersama hilir mudik orang-orang dalam kesibukannya. Utamanya para karyawan RS PMI yang mengejar-ngejar waktu untuk bisa on time menekan absen finger print. Kadang suka senyum-senyum sendiri. Kalo saya bekerja kantoran seperti mereka, akankah saya termasuk menjadi salah satunya? Entahlah. Saya belum pernah merasakannya, dan sepertinya gak akan pernah.

Di dalam lift saya bertemu Engkus, salah satu kru OB RS yang doyan bercanda dengan orang-orang di ruang HD, baik ke pasien maupun perawat. Orang yang humoris. Dia dan satu temannya sedang membawa mesin HD. Bercanda sejenak sahut-sahutan di dalam lift. Kebetulan gak ada orang lain selain kami. sampai akhirnya kami salah lantai. Tujuan kami lantai dua, ternyata lift malah mengantar ke lantai 3. Hahaha! Itulah kalo orang kebanyakan becanda ya...


Di lantai dua, saya melewati ruang bedah mata dan kamar bersalin. Memasuki ruang Hemodialisa, kegiatan seperti biasa: menaruh surat rujukan, menimbang berat badan, mengisi absen pasien dan menuliskan berat badan. Naik 4 kg. Jadi saya harus tarik 4000 nanti ketika HD.

Tibalah giliran saya ditangani oleh Suster Asna, setelah menunggu hampir sejam di ranjang. Dia mulai dengan memeriksa tensi saya. Hasilnya rada tinggi. Saya minum amlodipin untuk menurunkan tensi. Setelah itu, mulailah Suster Asna menusukkan jarum fistula ke lengan Cimino saya (Saya akan cerita tentang apa itu cimino di tulisan lain).

Nah, mulai dari sini, cerita jadi tak biasa.

Biasanya, ketika perawat menusuk fistula ke cimino, bagi yang beruntung langsung ketemu aksesnya. Yang rada kurang beruntung kalo si akses kurang lancar dan harus dibetulkan posisi jarumnya dengan cara “diubek-ubek”, haha! Ngeri yak, jarum gede banget diubek-ubek di dalam tangan untuk mencari pembuluh darah yang pas.

Nah kali ini lain. Suster Asna menusukkan fistula, lalu ga ketemu akses cimino-nya. Diubek-ubeklah jarum tadi di dalam lengan saya. Hadeuuh.. sakit n ngeri banget... jangan bayangin yak. It hurts pokoknya.

Buat saya, kalo lagi kurang beruntung kayak gitu, biasanya saya meringis sedikit sambil senyum dan meminta untuk dicabut aja jarumnya, lalu ditusuk lagi di tempat lain. Buat saya lebih ‘tidak sakit’ seperti itu. Walaupun tetap sama-sama ditusuk.

Suster Asna meminta bantuan Shendi, perawat lain. Tapi tetap gak ketemu akses ciminonya. Keduanya meminta bantuan Pak Engkas, kepala Ruang HD.

Pa Engkas mencoba mengutak atik posisi jarum. Anehnya belum ketemu juga. Dia rada bingung. Akhirnya meminta diambilkan stetoscope. Itu lho yang buat dipasang di telinga untuk mendengar suara detak jantung, tahu kan?


Pa Engkas memeriksa desiran cimino (yang harusnya ada) di sekitar lengan cimino saya. Lalu dia manyun sambil membuka stetoscope-nya.

“Percuma! Udah femoral aja. Cimino-nya ilang,” katanya sambil berlalu melanjutkan urusannya.

Saya, Asna dan Shendy mengangkat alis masing-masing (ya iyalah, masa alis orang lain yang diangkat? Haha)..

Shendy pergi melanjutkan ke pasiennya sendiri. Asna sendiri speechless dulu beberapa detik. Termasuk saya. Diam membatu. Gak tahu mau ngomong apa.

Mengagetkan, sebetulnya. Tapi alhamdulillaah. Berkali-kali, hingga hari ini, saya mengucap Alhamdulillah pada Allah diberi ketenangan saat itu. Betul-betul tenang dan gak panik atau gusar gelisah galau merana atau nangis-nangis bombay lebay..

Cimino yang sudah menemani saya HD selama kurang lebih 4 tahun, akhirnya hilang. Sedih, iya. Nangis, gak. Entah kenapa, yaa... tenang begitu aja. Betul-betul karunia Allah. Saya sadar banget ketenangin itu dari Allah.

Allah yang ‘kasih pinjam’ cimino di tangan saya. Sewaktu-waktu bisa Allah ambil kapanpun Dia mau. Sama halnya dengan diri kita. Nyawa kita, ketampanan dan kecantikan kita, kulit mulus kita, harta kekayaan kita, jabatan kita, kehidupan kita, semua adalah amanah yang Allah titipkan pada kita. Jika Allah berkendak untuk mengambilnya, maka gak ada yang bisa menghalangi. Semua milik Allah swt.

Dalam diam, hanya memikirkan itu. Percaya atau tidak, itu yang saya pikirkan. Itu yang ada di benak saya.

“Ya udah, As. Femoral aja dulu,” kata saya. Saya akan cerita tentang femoral di kali yang lain ya.

Akhirnya, Asna dengan mengucap Bismillaahirrahmaanirrahiim.. menusukkan fistula secara femoral di paha saya. Proses HD berjalan lancar hingga selesai. Alhamdulillaah..

Senin, 26 Februari 2018

Go to Jonggol...! (1)



Assalamualaikum sobat. Semoga semua sehat selalu ya..
Kali ini saya ingin bercerita perjalanan saya ke daerah Sukamakmur, Kabupaten Bogor.

Kemarin, 25 Februari 2018, saya, istri dan teman-teman berngkat menuju Jonggol. Menghadiri pernikahan teman kami, Iwan Sumarna. Yaah, mungkin gak layak juga disebut hadir di resepsi ya. Karena akad nikah dan resepsi sudah berlangsung 18 Februari lalu di Majalengka. Lalu acara Unduh mantu sebetulnya sudah berlangsung sehari sebelumnya, yaitu 24 Februari.

Terus, ngapain dong kita datang tanggal 25-nya?
Kayak kurang kerjaan aja ya?

Hahahaha!! Karena Iwan Sumarna memang spesial. Kita yang datang juga orang-orang spesial. Jadi out of the box dan anti-mainstream aja. Kita kompakan datang sehari setelah Unduh Mantu. Berencana datanglah kita hari Minggu, 25 Februari.

Alasan lainnya (dan mungkin ini yang utama) yaa... sebab tanggal 24 sebagian di antara kami ada yang masih bekerja.

Lanjut ceritanya ya..
Kami berangkat dari Sindang Barang, Bogor Barat sekitar jam 8an. Di mobil 1 ada Suhe dan istri, saya dan istri plus ibu mertua saya  (pengen ikut katanya hihi. Kan saya bilang, Iwan Sumarna ini emang spesial). Terakhir ada Risna dan suami dan anaknya yang super ganteng, Arkan. Di mobil 2 ada Bang Yusuf dan Mba Onya, Hasanah dan Suami plus si bocah gendut yang baru 6 bulan, serta ada 1 penumpang lagi yang gak saya kenal. Seorang akhwat berjilbab. Awalnya saya kira, akhwat ini kenalannya Mba Onya yang juga kenal Iwan Sumarna. Tapi ternyata ada cerita lain di balik kehadirannya.




Berngkatlah kita menuju rumah Iwan Sumarna di daerah Kec Sukamakmur, kab Bogor. Setahu saya, kecamatan ini adalah hasil pemekaran wilayah Kecamatan Jonggol. Meski begitu, tetap aja iwan dan teman-teman yang mengenalnya, selalu menyebut Jonggol untuk area rumahnya.

Go to Jonggol...!

Posisi mobil 1 di depan. Suhe, adik kels saya sekaligus sopir mobil 1 tampak pede banget ngikutin jalur Googlemap yang titiknya dikirim sama Iwan. Saya bantu pegangin Hpnya. Saya jadi navigatornyalah..

Awalnya masuk tol, lalu keluar di pintu tol Sentul. Masuk ke perumahan Bukit Sentul (kalo gak salah). Terus keluar di Bunderan JungleLand. Masuk ke perkampungan.

Setelah masuk agak jauh, Mba Onya dari mobil 2 menelpon bahwa kata Hasanah jalur ini jalur tanjakan serem. Mobil 1 berhenti sesaat. Agak ragu Suhe. Tapi kemudian suara Bang Yusuf samar-samar di sebelah Mba Onya menguatkan.

“Bismillah aja... lanjut!” Oke deh. Tancap gas lagi kita maju.

Dalam hati, dasar Hasanah. Kenapa gak bilang dari awal tadi sebelum ambil rute sini atuh? Malah diem aja.

Awalnya saya kira yang dimkasud Hasanah adalah turunan dan tanjakan yang curam hanya sekali saja. Mungkin mirip daerah Manunggal, Semeru-Bogor Barat. Tapi ternyata, bakal lain ceritanya ya..

Masuk lah kita ke perkampungan dengan aktivitas hari Minggu pagi warga. Orang-orang tua saling bercengkrama di depan rumah. Anak-anak muda sedang bermain-main gitar. Anak-anak sedang bermain, entah apa namanya. Ada pula yang sedang berlarian. Deretan warung-warung kecil tampak di sepanjang pinggiran jalan. Dan kios-kios bensin terlihat lebih banyak dari yang biasa saya lihat. Ya, wajar sja. Di sini mungkin jauh ke pom bensin.

Mulailah kami menemui tanjakan pertama yang cukup curam. Kondisi jalan sempit. Hanya cukup 1 mobil dan 1 motor. Sementara kiri-kanan jalan langsung selokan dan rumah warga.

Mulai dari sini saya udah gak fokus ama kondisi sekitar. Hanya memperhatikan jalanan dan melihat apakah di depan ada mobil berlawanan arah atau tidak. Bahkan, mulai dari sini saya sudah gak ingat untuk ambil foto sana sini.

Mobil melaju di tanjakan curam, lalu berbelok. Mobil 2 masih mengikuti.

Saya pikir, that’s all.

Tapi ternyata belum. It’s not the end. It’s only the beginning...

(Bersambung yak!)


Kamis, 22 Februari 2018

Rabu dan Sabtu yg Sama


Rabu dan Sabtu saya selama hampir 10 tahun terakhir ini selalu sama, ke RS PMI Bogor. Saya bukan karyawan RS. Saya pasien Hemodialisa (HD). Orang lebih mengenalnya dengan sebutan Cuci Darah.

Mendengarnya serasa menyeramkan ya?

Padahal, prosesnya sebetulnya tak terlalu menyeramkan. Bahkan bisa saja selama prosesnya kita merasa rileks dan enjoy bangeeet. Betul. Ini jujur banget. Istilah Cuci Darah menjadikannya terdengar menakutkan. Inti proses cuci darah itu sebenarnya terjadi juga pada orang-orang sehat pada umumnya. Hanya saja, orang sehat mengalami cuci darah secara alami melalui ginjal mereka. Dan itu di luar kesadaran mereka. Allah yang mengatur prosesnya sedemikian rupa dengan sempurna.

Nah, kalo cuci darah memprosesnya di luar tubuh manusia dengan bantuan mesin dan perlengkapan hemodialisa lainnya. Tulisan berikutnya mungkin saya akan bahas tentang hemodialisa lebih jauh.

Biasanya, setiap hari Rabu dan Sabtu saya berangkat dari rumah sekitar jam 7. Atau kalo lagi sesak napas, biasanya saya berangkat lebih pagi. Sampai di RS PMI sekitar jam 7.30an atau pas jalanan lagi macet banget biasanya bisa sampai jam 8an.

Berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Melihat para karyawan RS dan pengunjung hilir mudik. Tiga tahun terakhir ini saya sudah tak sanggup menggunakan tangga. Terlalu melelahkan. Makanya saya pakai lift. Ruang HD saya di lantai 2. Perlahan berjalan melewati beberapa instalasi.
Tiba di depan ruang HD saya langsung disambut aroma pengharum ruangan dan udara yang lumayan sejuk. Sebab, di ruang HD wajib suhunya agak rendah untuk menjaga stabilitas mesin yang rutin dipakai.







Masuk ke dalam ruangan, saya harus menyimpan Surat Rujukan di tempat yang sudah ditentukan. Kemudian, menimbang Berat Badan untuk mengetahui kenaikan berat badan selama 3 hari terakhir. Kemudian mengisi absensi, supaya tertib nanti urutan mulainya.

Saya menuju ‘ranjang langganan’. Hehe, sebetulnya tak ada istilah ranjang terntentu untuk orang tertentu. Setiap pasien bebas memilih di mana ranjang yang dipilih. Tergantung jam berapa dia tiba di RS. Tapi, ada semacam peraturan tak tertulis kalo ranjang A itu udah milik pasien X, karena memang dia terbiasa di situ. Dari dulu. Apalagi, itungannya, yaa.. saya ini pasien senior. Hahay! Udah hampir 10 tahun cuci darah.

Well done! Saya udah di ranjang. Sarapan pagi. Sambil menunggu giliran untuk ditusuk suster.

Beginilah rutinitas Rabu dan Sabtu saya.

Senin, 19 Februari 2018

Karena Saya Pelupa

Karena saya seorang yang pelupa, maka saya ingin menuliskannya di blog ini. Saya ingin menuliskan kegiatan-kegiatan saya yang, mungkin, bagi sebagian orang membosankan. Saya ingin menuliskannya supaya saya pribadi bisa mengambil pelajaran dari setiap aktivitas dan keputusan-keputusan dalam hidup saya.
Tak tahulah bagi orang lain bagaimana reponnya. Saya tak memikirkannya dulu untuk saat ini. Toh saya memang pelupa. Seringkali, hal-hal penting di masa lalu juga terlupakan begitu saja. Walaupun, ada juga ingatan-ingatan tertentu yang terus menempel di memori saya.
So, saya hanya ingin menulis.
Menuliskan garis hidup saya...