Jadi gini, waktu itu jadwal saya HD. Kebetulan saya ditangani oleh Pak Suwanda, salah satu perawat senior di HD. Saya mengenalnya sudah lama. Dari awal saya HD, saya sering ditangani Pak Wanda.
Pak Wanda dan Istri saya |
Sekedar flashback, saya ingat banget, dulu Pak Wanda adalah perawat pertama yang nusuk fistula ke saya tanpa obat bius. “Abis,” alasannya. Yaaa, saya sih antara percaya gak percaya juga. Gak percayanya, masa RS sebesar PMI kehabisan obat bius? Tapi setelah beberapa waktu mengamati sistem restok peralatan dan perlengkapan Hemodialisa di sana, ya pernyataan Pak Wanda bisa diterima juga.
Tapi saya gak mau bahas tentang obat bius ataupun sistem restok ya. Saya mau bahas yang lain.
Sudah lumayan lama Pak Wanda bertugas di ruang hemodialisa lantai 3. Sedangkan saya pasien lantai 2. Nah, sekalinya Pak Wanda tugas di lantai 2, dia berkali-kali menangani saya.
Sambil menunggu Pak Wanda memasang selang-selang dan tabung dialiser di mesin HD, saya ajak ngobrol.
“Pak, gimana kabar Bu Uum?” tanya saya. Kalo saya menyebut Bu Uum, maka artinya ada 2 Bu Uum yang dikenal Pak Wanda. Yang satu adalah pasien HD, sama seperti saya. Yang satunya lagi adalah Kepala Perawat RS PMI, bosnya Pak Wanda.
Yang ditanya mengernyitkan dahi. Tanda dia bingung, siapa Bu Uum yang saya maksud.
Lalu, saya memperjelas dengan berkata, “Bu Uum pasien, Pak. Yang di lantai 3.”
Saya menanyakan kabar Bu Uum karena sejak beliau pindah lantai, kami nyaris gak pernah ketemu dan saling sapa.
Sosok Bu Uum itu sosok yang sangat tegar menghadapi gagal ginjal dan kenyataan hidup. Dia tak pernah ditemani keluarganya ketika HD. Suaminya sudah tiada. Anak-anaknya tak ada yang berkesempatan menungguinya ketika HD karena harus bekerja. Bu Uum sangat faham, meski anak-anaknya sudah berkeluarga, tapi mereka bukan dari kalangan berada. Masing-masing harus sama-sama berjuang menghidupi keluarga. Jadilah, Bu Uum seorang diri ketika HD.
Bu Uum |
Paling bagus, beliau hanya diantar anaknya sampai pintu lobi PMI, sekalian anaknya berangkat bekerja. Sementara nanti ketika pulang HD, di saat kondisi fisik masih lemas pasca-HD, dia berjalan sendirian. Perlahan. Hingga ketemu angkot.
Okelah, kalau kondisi beliau sedang baik saya gak begitu prihatin. Yang kadang bikin saya sedih adalah kondisi di saat beliau lemas, ngap, agak sesak napas. Beliau datang sendiri, berjalan dari lobi menuju ruang HD sambil membawa bekal seadanya.
Pokoknya... wonder woman lah!
“Hoo, udah gak ada, Bay,” kata Pak Wanda seraya menusukkan fistula ke tangan saya. Saya meringis pelan, sebab kali itu rupanya agak terasa tusukan jarumnya.
“Udah meninggal, Pak?” saya coba memperjelas kata-kata Pak Wanda tadi.
Pak Wanda diam, hanya menggerakkan kedua bibirnya, tanda mengiyakan pertanyaan saya.
Saya diam. Sedih mengingat-ingat sosoknya yang kadang lugu dan lucu, namun sedikit bawel. Astaghfirullaah, kadang saya suka becandain beliau juga.
Yah, Bu Uum.... kata saya dalam hati. Sedih.
***
Alhamdulillah proses HD saya hari itu lancar. Tak ada kendala apapun. Hanya saja, pasca HD, kepala saya pusing. Badan saya masih lemas. Saya berjalan menuju timbanganpun sempoyongan. Penglihatan saya masih kedip-kedip semu gelap dan buram. Bukan hanya karena kondisi setelah HD, tapi juga karena minus mata kiri dan kanan, serta pandangan agak berkabut di mata kanan (Mungkinkah katarak??)
Saya berjalan perlahan keluar ruang HD. Duduk di bangku tunggu. Lalu memakan sisa bekal agar nanti pulang HD gak keanginan. Saya pulang bersama Bapak pakai sepeda motor.
Usai istirahat sejenak dan menghabiskan bekal, saya berjalan menyusuri lorong. Sementara bapak menggunakan tangga, duluan ke arah parkiran motor. Kami berpisah arah.
Saya berjalan pelan-pelan menuju lift. Kedua lutut dan kaki masih agak terasa sakit. Waktu itu saya belum pulih betul nyeri di kaki.
Saya tekan tombol turun lift. Lalu bersandar di tembok dekat lift. Menyandarkan punggung yang masih terasa pegal. Rasa pusing dan kondisi pandangan setengah gelap membuat saya terus menunduk lemas.
Lift berbunyi, lalu pintunya terbuka. Gak ada orang lain yang masuk ke dalam lift waktu itu. Hanya saya sendirian. Saya masuk. Langsung menekan tombol 1.
Kondisi masih lemas dan pusing. Kepala saya wktu itu terasa berat. Saya berdiri menyandarkan diri di dinding lift dekat tombol-tombol lift. Tak mau bergerak ataupun bergeser. Sulit.
Di tengah sunyi kesendirian itu, tiba-tiba terdengar suara dari belakang saya.
“Udah pulang, pa?”
Sedikit lemas dan buram, saya menoleh ke belakang dan samar-samar saya mendapati sosok Bu Uum di sana.
Astaghfirullaahal’adziim...!!! saya berteriak dalam hati. Suara saya tersekam di tenggorokan. Gak keluar sama sekali.
Sepersekian detik, saya membelalakkan mata. Memaksanya terbuka lebar. Memastikan sosok itu adalah benar-benar Bu Uum. Maksud saya, Bu Uum yang masih hidup. Seorang manusia.
Benar. Itu Bu Uum. Kakinya masih menjejak di lantai lift. Bayangannya pun ada di dinding lift.
Saya tersenyum padanya. “I, iya, Bu. Alhamdulillah lancar,” saya menjawab. Lalu saya berbasa basi bertanya, “Sendiri bu?”
Pertanyaan bodoh dari saya. Sebab semua orang tahu beliau selalu sendiri.
Keluar dari lift saya tersenyum-senyum sendiri. Lemas, pandangan buram, kaki nyeri, namun senang melihat sosok Bu Uum, ngeri-ngeri sendiri dengan pengalaman tadi, dan sedikit geram.
Pak Wanda, awas ya nanti ketemu lagi...!