Laman

Jumat, 16 Maret 2018

Back to Femoral

Rabu kemarin, 14/3, saya memulai pagi dengan sehat ceria. Alhamdulillaah. Tak ada yang istimewa, pun tak ada yang mengganjal hati. Everything goes on so so..

Saya berangkat ke PMI dianter Bapak. Bertemu kemacetan jalanan Kota Bogor. Seperti biasa. Ada dua titik kemacetan waktu itu: satu di daerah Panaragan dekat pom bensin. Yang satunya di daerah Merdeka, sekitar 1 kilometer menuju stasiun Bogor. Orang-orang sibuk bekerja. Berpacu dengan waktu.

Sesampainya di halaman lobi RS PMI Bogor saya berjalan perlahan memasuki lobi. Saya menyusuri lobi RS PMI bersama hilir mudik orang-orang dalam kesibukannya. Utamanya para karyawan RS PMI yang mengejar-ngejar waktu untuk bisa on time menekan absen finger print. Kadang suka senyum-senyum sendiri. Kalo saya bekerja kantoran seperti mereka, akankah saya termasuk menjadi salah satunya? Entahlah. Saya belum pernah merasakannya, dan sepertinya gak akan pernah.

Di dalam lift saya bertemu Engkus, salah satu kru OB RS yang doyan bercanda dengan orang-orang di ruang HD, baik ke pasien maupun perawat. Orang yang humoris. Dia dan satu temannya sedang membawa mesin HD. Bercanda sejenak sahut-sahutan di dalam lift. Kebetulan gak ada orang lain selain kami. sampai akhirnya kami salah lantai. Tujuan kami lantai dua, ternyata lift malah mengantar ke lantai 3. Hahaha! Itulah kalo orang kebanyakan becanda ya...


Di lantai dua, saya melewati ruang bedah mata dan kamar bersalin. Memasuki ruang Hemodialisa, kegiatan seperti biasa: menaruh surat rujukan, menimbang berat badan, mengisi absen pasien dan menuliskan berat badan. Naik 4 kg. Jadi saya harus tarik 4000 nanti ketika HD.

Tibalah giliran saya ditangani oleh Suster Asna, setelah menunggu hampir sejam di ranjang. Dia mulai dengan memeriksa tensi saya. Hasilnya rada tinggi. Saya minum amlodipin untuk menurunkan tensi. Setelah itu, mulailah Suster Asna menusukkan jarum fistula ke lengan Cimino saya (Saya akan cerita tentang apa itu cimino di tulisan lain).

Nah, mulai dari sini, cerita jadi tak biasa.

Biasanya, ketika perawat menusuk fistula ke cimino, bagi yang beruntung langsung ketemu aksesnya. Yang rada kurang beruntung kalo si akses kurang lancar dan harus dibetulkan posisi jarumnya dengan cara “diubek-ubek”, haha! Ngeri yak, jarum gede banget diubek-ubek di dalam tangan untuk mencari pembuluh darah yang pas.

Nah kali ini lain. Suster Asna menusukkan fistula, lalu ga ketemu akses cimino-nya. Diubek-ubeklah jarum tadi di dalam lengan saya. Hadeuuh.. sakit n ngeri banget... jangan bayangin yak. It hurts pokoknya.

Buat saya, kalo lagi kurang beruntung kayak gitu, biasanya saya meringis sedikit sambil senyum dan meminta untuk dicabut aja jarumnya, lalu ditusuk lagi di tempat lain. Buat saya lebih ‘tidak sakit’ seperti itu. Walaupun tetap sama-sama ditusuk.

Suster Asna meminta bantuan Shendi, perawat lain. Tapi tetap gak ketemu akses ciminonya. Keduanya meminta bantuan Pak Engkas, kepala Ruang HD.

Pa Engkas mencoba mengutak atik posisi jarum. Anehnya belum ketemu juga. Dia rada bingung. Akhirnya meminta diambilkan stetoscope. Itu lho yang buat dipasang di telinga untuk mendengar suara detak jantung, tahu kan?


Pa Engkas memeriksa desiran cimino (yang harusnya ada) di sekitar lengan cimino saya. Lalu dia manyun sambil membuka stetoscope-nya.

“Percuma! Udah femoral aja. Cimino-nya ilang,” katanya sambil berlalu melanjutkan urusannya.

Saya, Asna dan Shendy mengangkat alis masing-masing (ya iyalah, masa alis orang lain yang diangkat? Haha)..

Shendy pergi melanjutkan ke pasiennya sendiri. Asna sendiri speechless dulu beberapa detik. Termasuk saya. Diam membatu. Gak tahu mau ngomong apa.

Mengagetkan, sebetulnya. Tapi alhamdulillaah. Berkali-kali, hingga hari ini, saya mengucap Alhamdulillah pada Allah diberi ketenangan saat itu. Betul-betul tenang dan gak panik atau gusar gelisah galau merana atau nangis-nangis bombay lebay..

Cimino yang sudah menemani saya HD selama kurang lebih 4 tahun, akhirnya hilang. Sedih, iya. Nangis, gak. Entah kenapa, yaa... tenang begitu aja. Betul-betul karunia Allah. Saya sadar banget ketenangin itu dari Allah.

Allah yang ‘kasih pinjam’ cimino di tangan saya. Sewaktu-waktu bisa Allah ambil kapanpun Dia mau. Sama halnya dengan diri kita. Nyawa kita, ketampanan dan kecantikan kita, kulit mulus kita, harta kekayaan kita, jabatan kita, kehidupan kita, semua adalah amanah yang Allah titipkan pada kita. Jika Allah berkendak untuk mengambilnya, maka gak ada yang bisa menghalangi. Semua milik Allah swt.

Dalam diam, hanya memikirkan itu. Percaya atau tidak, itu yang saya pikirkan. Itu yang ada di benak saya.

“Ya udah, As. Femoral aja dulu,” kata saya. Saya akan cerita tentang femoral di kali yang lain ya.

Akhirnya, Asna dengan mengucap Bismillaahirrahmaanirrahiim.. menusukkan fistula secara femoral di paha saya. Proses HD berjalan lancar hingga selesai. Alhamdulillaah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar