
Saya meminta montir bengkel untuk tune up karburator dan mengganti rantai dan gear yang sudah aus. Dari segi biaya tidak terlalu mahal (ketika uangnya ada, hehe). Sekitar 185 ribu aja. Alhamdulillah masih bisa kejangkau.
Sebuah pengorbanan menuju perbaikan ke depannya.
Tapi bukan tentang Si Merdeka yang ingin saya bahas. Peristiwa ini mengingatkan saya tentang diskusi saya bersama seorang teman. Senior saya di Dakwah Kampus, tepatnya. Namanya Iwan Sumarna.
Sekitar tahun 2005 lalu (berarti hampir 10 tahun yang lalu yak?), kami sedang mendiskusikan tentang komitmen & pengorbanan.
Dia bertanya pada saya, "Mana yang kita dahulukan: komitmen atau pengorbanan??"

Tapi di sisi lain, komitmen baru bisa tumbuh dan berkembang jika kita sudah banyak melakukan pengorbanan terhadap sesuatu yang kita yakini. Nah, kalo dari hipotesa yang ini, tentu kita akan mendahulukan pengorbanan...
Bingung saya.

Barulah ketika di bengkel kemarin saya sedikit memaknai tentang komitmen dan pengorbanan tadi.
Bagi saya, komitmen dan pengorbanan muncul dan tumbuh seiring sejalan dan selaras. Tidak ada yang didahulukan satu di atas yang lain. Setiap mereka yang memiliki komitmen tinggi terhadap keyakinan tertentu akan melakukan pengorbanan yang tinggi pula. Dan setiap mereka yang melakukan pengorbanan atas suatu keyakinan tertentu pasti berkomitmen tinggi terhadap sesuatu itu. Ekivalen.

Lantas bagaimana memunculkan keduanya?
Inilah tugas para ORANGTUA (dalam artian fungsi sebagai GURU, MENTOR, MUROBBI, PEMBINA, PEMBIMBING, dll) untuk MENANAMKAN BENIH-BENIH KOMITMEN untuk BERKORBAN atas setiap KEBAIKAN.