BLACKBERRY
Dirga tidak
menyadari kalau dua orang preman sudah menunggunya di balik belokan gang menuju
rumah. Dia berjalan melenggang kangkung seperti biasa saja sambil terus sibuk
mengutak atik HP Blackberry barunya
Hari sudah
hampir gelap dan kebetulan jalanan sangat sepi. Sebuah kondisi yang sangat
diidam-idamkan oleh kedua preman tadi.
Baru saja selangkah
anak kelas XI di sebuah SMK di Bogor itu berbelok, kedua preman tadi sudah
menghadang. Sontak langkah Dirga terhenti.
Dia menatap
sesaat pada dua lelaki bertubuh tegap di hadapannya. Jantungnya langsung
beraksi dengan berdegup kencang. Siapapun pada posisi Dirga pasti akan langsung
menangkap gelagat tidak baik pada dua orang tadi.
Refleks Dirga
langsung memasukkan HP barunya ke dalam saku.
“Eh, bocah,”
kata salah satu dari kedua preman tadi. “Siniin HP lu!”
Dirga mundur
selangkah. Bersiap berbalik kabur.
Sejurus
kemudia
n, Dirga hendak berteriak meminta tolong.
Namun, belum
sempat dia bersuara, preman-preman tadi sudah mebungkam dan membekuk gerakan
anak sekolah itu.
Merasa sama-sama
bertubuh besar, Dirga berontak. Dia tidak mau HP barunya direbut. Dia terus
berontak.
Akan tetapi, kekuatannya
tak sebanding dengan kedua preman tadi.
Begitu ada celah
gerakan, Dirga menendang tubuh salah satu bandit tadi. Ia berhasil melepaskan
diri sementara.
Lepas dari preman
yang satu, dia lengah dari yang lainnya. Dia terjatuh duduk. Lunglai. Kesakitan.
Tanpa ia sadari, darah segar mengalir. Bersimbah di baju seragam putihnya.
Rupanya si
preman yang satu menggunakan pisau dan melukai anak SMK itu di bagian dada
kanan.
Dirga kelelahan.
Dia kehabisan napas. Kini kesadarannya sudah di ambang batas. Pandangannya mulai
sayu dan redup. Ia mulai berada di wilayah dunia yang abu-abu. Penglihatannya
kabur. Pendengarannyapun melemah. Ia
hanya mendengar beberapa kata tak jelas dari kedua preman yang sedang
berbicara.
“Lu… sial…
mendingan… ayo…”
“Cepet… biarin
aja…”
Tak jelas. Tak
dimengerti oleh Dirga.
Dalam kondisi
begitu, sejengkal ingatan berkelibat di pikiran. Lintasan-lintasan ingatan yang
hanya sepersekian detik sebelum Dirga akhirnya kehilangan kesadaran.
Dalam lintasan
ingatan itu, sekejap bayangan Thio datang. Teman sekelasnya itu menunjukkan
wajah cemas dan takut padanya. Terpojok ia di salah satu kamar mandi siswa.
“Ma, mau apa
kalian?” tanyanya gugup dan setengah ketakutan.
Dirga dan ketiga
anteknya, yang juga teman sekelasnya, membuat Thio tersudut.
“Eh, Thio. HP lu
bagus… baru ya?” kata Dirga.
“Iya bro,
Blackberry… Coba liat napa!” kata salah satu dari ketiga teman Dirga.
Dirga dan ketiga
temannya berusaha merebut HP Thio.
“Dir, Dirga. Ja,
jangan dong,” pinta Thio sedikit melawan. “Ini dari kakak say, Dir.”
“Oh, hadiah…”
ujar Dirga sambil mendengus. “Berarti lu gak rugi kalo gue ambil kan?”
Sedetik kemudian
Blackberry tadi sudah berpindah tangan. Thio berusaha mengambil kembali tapi
dihalangi oleh anak buah Dirga.

Dirga dan ketiga
temannya tertawa menang. Sementara Thio hanya bisa menahan tangis dan marah.
Dirga terbatuk.
Terdengar suara
dari beberapa orang yang panik di sekitarnya. Langkah-langkah kaki hilir mudik
di sekelilingnya. Ia tersadar sebentar dan
dilihatnya sekumpulan orang mengelilinginya dengan pandangan pucat. Ada
teriakan. Ada perintah-perintah untuk membawanya ke rumah sakit. Ada suara
untuk membawanya ke rumah terdekat dulu.
Dilihatnya
telapak tangannya yang kotor karena tanah yang berlumpur dan bercampur darah. Banyak
darah.
Sejurus
kemudian, pandangannya gelap.