Laman

Selasa, 19 Agustus 2014

CERITA PENDEK 1

BLACKBERRY

Dirga tidak menyadari kalau dua orang preman sudah menunggunya di balik belokan gang menuju rumah. Dia berjalan melenggang kangkung seperti biasa saja sambil terus sibuk mengutak atik HP Blackberry barunya
Hari sudah hampir gelap dan kebetulan jalanan sangat sepi. Sebuah kondisi yang sangat diidam-idamkan oleh kedua preman tadi.
Baru saja selangkah anak kelas XI di sebuah SMK di Bogor itu berbelok, kedua preman tadi sudah menghadang. Sontak langkah Dirga terhenti.
Dia menatap sesaat pada dua lelaki bertubuh tegap di hadapannya. Jantungnya langsung beraksi dengan berdegup kencang. Siapapun pada posisi Dirga pasti akan langsung menangkap gelagat tidak baik pada dua orang tadi.
Refleks Dirga langsung memasukkan HP barunya ke dalam saku.
“Eh, bocah,” kata salah satu dari kedua preman tadi. “Siniin HP lu!”
Dirga mundur selangkah. Bersiap berbalik kabur.
          “Eits!” Preman kedua menjegatnya dari arah berlawanan. “Mau kemana lu? Cepet, serahin HP lu!”
Sejurus kemudia

n, Dirga hendak berteriak meminta tolong.
Namun, belum sempat dia bersuara, preman-preman tadi sudah mebungkam dan membekuk gerakan anak sekolah itu.
Merasa sama-sama bertubuh besar, Dirga berontak. Dia tidak mau HP barunya direbut. Dia terus berontak.
Akan tetapi, kekuatannya tak sebanding dengan kedua preman tadi.
Begitu ada celah gerakan, Dirga menendang tubuh salah satu bandit tadi. Ia berhasil melepaskan diri sementara.
Lepas dari preman yang satu, dia lengah dari yang lainnya. Dia terjatuh duduk. Lunglai. Kesakitan. Tanpa ia sadari, darah segar mengalir. Bersimbah di baju seragam putihnya.
Rupanya si preman yang satu menggunakan pisau dan melukai anak SMK itu di bagian dada kanan.
Dirga kelelahan. Dia kehabisan napas. Kini kesadarannya sudah di ambang batas. Pandangannya mulai sayu dan redup. Ia mulai berada di wilayah dunia yang abu-abu. Penglihatannya kabur. Pendengarannyapun melemah.  Ia hanya mendengar beberapa kata tak jelas dari kedua preman yang sedang berbicara.
“Lu… sial… mendingan… ayo…”
“Cepet… biarin aja…”
Tak jelas. Tak dimengerti oleh Dirga.
Dalam kondisi begitu, sejengkal ingatan berkelibat di pikiran. Lintasan-lintasan ingatan yang hanya sepersekian detik sebelum Dirga akhirnya kehilangan kesadaran.
Dalam lintasan ingatan itu, sekejap bayangan Thio datang. Teman sekelasnya itu menunjukkan wajah cemas dan takut padanya. Terpojok ia di salah satu kamar mandi siswa.
“Ma, mau apa kalian?” tanyanya gugup dan setengah ketakutan.
Dirga dan ketiga anteknya, yang juga teman sekelasnya, membuat Thio tersudut.
“Eh, Thio. HP lu bagus… baru ya?” kata Dirga.
“Iya bro, Blackberry… Coba liat napa!” kata salah satu dari ketiga teman Dirga.
Dirga dan ketiga temannya berusaha merebut HP Thio.
“Dir, Dirga. Ja, jangan dong,” pinta Thio sedikit melawan. “Ini dari kakak say, Dir.”
“Oh, hadiah…” ujar Dirga sambil mendengus. “Berarti lu gak rugi kalo gue ambil kan?”
Sedetik kemudian Blackberry tadi sudah berpindah tangan. Thio berusaha mengambil kembali tapi dihalangi oleh anak buah Dirga.
“Udah bos, ambil aja. Ni anak udah ikhlasin kok,” kata salah satu teman Dirga. “Ikhlas kan? Ya kan? Ya deh… udah, kasihin aja… hehehe…”
Dirga dan ketiga temannya tertawa menang. Sementara Thio hanya bisa menahan tangis dan marah.

Dirga terbatuk.
Terdengar suara dari beberapa orang yang panik di sekitarnya. Langkah-langkah kaki hilir mudik di sekelilingnya. Ia tersadar sebentar dan  dilihatnya sekumpulan orang mengelilinginya dengan pandangan pucat. Ada teriakan. Ada perintah-perintah untuk membawanya ke rumah sakit. Ada suara untuk membawanya ke rumah terdekat dulu.
Dilihatnya telapak tangannya yang kotor karena tanah yang berlumpur dan bercampur darah. Banyak darah.

Sejurus kemudian, pandangannya gelap.