GADIS YANG SELALU SENDIRI
.jpg)
Tatap matanya kosong. Tidak ada
sinar gairah kehidupan di kedua sorot matanya.
Aku tidak terlalu tahu berapa
usia pastinya. Tapi, menurutku, usianya tidak lebih dari usia 25. Percaya atau
tidak, dulu sewaktu aku kecil, aku pernah melihatnya satu sekolah denganku.
Karena dulu aku tidak terlalu memperhatikannya, aku tidak tahu berapa beda angkatan
tepatnya dia denganku. Hanya saja, dengan sikapnya yang aneh dan tidak lazim
bagi kebanyakan orang, menjadikan wajahnya tampak jauh lebih tua dari usia
aslinya.
Setiap kali lewat di depan rumahku, dia selalu sendiri. Tidak pernah ada orang yang menemaninya. Tidak seorang yang lebih tua, ataupun lebh muda.
Secara sepintas saja, siapapun
akan langsung mengetahui bahwa gadis itu tidak normal. Kewarasannya sudah
hilang entah kemana. Namuan, kupikir, untuk ukuran orang yang tidak waras, dia
sangat rapi dan terawat. Tidak pernah kulihat dia memakai pakaian kumal.
Bahkan, beberapa kali aku lewat di depannya di gang kampung, tidak tercium bau
tidak sedap darinya.
Sebetulnya, dari dulu hingga
sekarang aku tidak terlalu memperdulikannya. Hanya saja, ketika akhir-akhir ini
aku mulai mengerjakan skripsi dan menghabiskan lebih banyak waktu di depan komputer,
sudut mataku selalu menangkap sosoknya lewat di depan rumahku. Sebab,
kebetulan, letak kamar dan letak komputerku membuatku mampu melihat siapa saja
yang melintas di depan rumah. Lama kelamaan, aku penasaran juga untuk mencari
tahu siapa dia.
Kali pertama, aku bertanya pada
kakakku. Ia diam saja. Tidak ada satu katapun yang keluar dari lisannya. Malah,
kemudian ia mengalihkan pembicaraan. Aku tidak mencecarnya terlalu jauh.
Mungkin, kakakku sedang banyak pikiran. Sebab, yang kutahu, usaha suaminya
sedang down. Dan itu berpengaruh juga pada dirinya.
Selanjutnya, aku bertanya pada
ibuku. Mungkin saja ibu lebih banyak tahu. Berkali-kali aku bertanya pada ibu,
selalu dijawab dengan desisan, “Ssstt!!”
Akan tetapi, pada akhirnya ibu menjawab
pertanyaanku. Jawabannya sempat membuatku terbelalak beberapa saat karena
kaget.
“Dia itu sepupu kamu.”
“Sepupu?! Dia anaknya siapa?
Wak Asman atau Wak Erti?” tanyaku.
“Wak Erti.”
“Tapi, kenapa saya gak dikasih
tau, Bu?”
“Udah ah, gak usah dibahas
lagi. Jangan tanya-tanya melulu. Ibu lagi sibuk nih.”
Semenjak aku diberitahu ibu
tentang gadis yang selalu sendirian itu, aku jadi lebih sering pergi ke rumah Wak
Erti yang berada di sisi lain kotaku. Alasanku: silaturahim, main, kebetulan
lewat, atau alasan apapun yang mungkin. Aku ingin tahu lebih banyak tentang
gadis itu.
“Tumben nih, main ke sini.
Biasanya setahun sekali, pas lebaran aja,” sindir Lia, putri bungsu Wak Erti
yang baru duduk di kelas XI SMA, saat pertama kali aku main ke rumah Wak Erti.
Lia langsung ditegur ibunya,
karena ucapannya dianggap tidak sopan. Meskipun, aku tahu, pertanyaan itu pasti
ditanyakan pula oleh Wak Erti. Tapi beliau, lebih memilih untuk tidak
menanyakannya.
“Emangnya gak boleh datang kalo
belum lebaran, ya?” candaku pada gadis berkerudung itu.
“Ehmm, bukan gitu, Kak,” ujar
Lia sambil mengunyah permen karet kesukaannya. “Ya, gak apa-apa sih. Datang
tiap hari juga gak apa-apa. Cuma, aneh aja…”
“Udah, udah…” sergah Wak Erti. Lalu
ia bertanya padaku, “Gimana kuliah kamu, Di? Udah beres?”
“Saya lagi nyusun skripsi, Wak.
Doain aja supaya lancar.”
“Ya, ntar Wak doain biar kuliah
kamu cepet beres. Mudah-mudahan Allah kasih kemudahan,” kata Wak Erti yang
kuamini. “Kamu udah makan, belum? Kebetulan, Wak masak sayur asem hari ini. Tuh
udah matang.”
Karena sungkan, aku memilih
menjawab sudah makan siang di kantin kampus. Padahal, dari pagi perutku baru
terisi sebuah roti Mang Jana.
.jpg)
Namun, meski sudah serapat
mungkin kututupi alasan sebenarnya, kupikir akhirnya Wak Erti bisa mengetahui
arti kedatanganku. Sebab, dari beberapa kali kedatanganku, setiap pertanyaan
selalu menjurus ke arah putra- putri Wak Erti.
“Kamu udah punya rencana nikah,
Di?” tanya Wak Erti mencoba mengalihkan pembicaraan.
Aku berusaha sebisaku membuat
obrolan kami mengalir sewajar mungkin. “Belum, Wak. Belum kepikiran.”
“Tapi, calonnya udah ada?”
Aku tersipu sambil menggaruk
kepalaku yang tidak gatal. “Belum.”
“Iya, bu,” Lia ikut-ikutan. “Lia
pernah ke kampusnya Kak Edi buat ngikutin lomba, keliatannya Kak Edi tuh orang
yang paling sibuk gitu… Orang sibuk kayak gitu mana mungkin mikirin pacaran,
apalagi nikah.”
Aku hanya mengulum senyum
menanggapi kata-kata Lia. Dalam hati, aku memang tidak pernah berpikir untuk
berpacaran dengan siapapun. Tapi, kalau untuk menikah, terlintas di benakku
beberapa kali. Meski itu tidak berlama-lama.
Sebenarnya, aku ingin mencontoh
beberapa kakak kelasku yang menikah ketika kuliah, seperti Kak Ganda dan Kak Munandar.
Tapi, aku belum punya keberanian melangkah ke arah sana seperti mereka.
“Wak, anak Wak ada berapa sih?
Kata kakak ada 6, tapi kata ibu ada 5. Yang bener yang mana?” tanyaku.
Wak Erti diam sejenak.
“Anak wak tuh sebetulnya ada 6.
Tapi, yang satu meninggal waktu masih bayi.”
“Oh, karena sakit?”
“Iya. Kenapa kamu tanya itu,
Di?”
“Oh, e,mm, ng, gak apa-apa.
Cuma pengen tau aja,” jawabku sedikit gelagapan.
Wak Erti menghela napas. Lalu
beralih ke dapur. Ada sesuatu yang harus dikerjakannya, katanya.
***
Gadis itu kembali lewat di depan rumahku.
Tepat jam 9 pagi. Kali ini dia memakai kaos putih dengan gambar sebuah gapura
di bagian depan. Dia berhenti tepat di depan pagar rumah. Lalu, sejenak dia
menatap lurus ke arahku. Untuk beberapa saat kami saling berpandangan. Namun,
buru-buru aku kembali fokus pada skripsiku.
Selepas gadis yang selalu
sendiri itu pergi dari depan rumah, bergegas aku keluar rumah dan mengejarnya. Sambil
menjaga jarak yang cukup aman untuk pengintaian, aku mengikuti gadis itu
berjalan menyusuri jalan-jalan kampung.
Kuputuskan untuk mengikutinya
sendiri karena ibuku tidak pernah lagi mau membahas tentang putri kakaknya itu.
Bahkan ketika kutanya di mana dia tinggal, Ibuku lebih memilih diam.
Dalam pikiranku, gadis itu
selalu lewat di depan rumahku tepat jam 9. Logikaku mengatakan, pasti tempat
dia tinggal tidak terlalu jauh.
“Kalau ibu gak mau kasih tau,
saya akan cari tau sendiri,” kataku pada ibu bersikeras.
“Sok aja,” ujar ibuku. “Tapi,
kenapa kamu penasaran banget sih ama dia?”
Semula aku diam. Tidak ingin
menjawab pertanyaan ibu. Tapi akhirnya kujawab juga, “Saya kasian aja, Bu. Liat
dia lewat depan rumah kita tiap hari sendirian. Apalagi, Wak Erti sampe gak
ngaku dia sebagai anak. Dia dianggap udah mati, padahal dia masih hidup, Bu. Dia
masih hidup. Walau bagaimanapun, dia tetap anak Wak Erti kan?”
Setelah sekitar 20-an menit aku mengikuti,
akhirnya gadis itu masuk ke pekarangan sebuah rumah. Cat rumah itu dominan
berwarna krem, namun sudah terlihat agak kusam di bagian bawah. Di depan rumah
terdapat sebuah pohon jambu air yang rindang. Sementara di pinggir kiri-kanan
rumah itu hidup tanaman rambat.
Gadis yang selalu sendiri___sepupuku___itu
berdiri membatu di pekarangan rumah, sambil berbicara tidak jelas pada sang
boneka. Gumaman-gumamannya semakin tidak jelas ketika dicobanya memetik salah
satu bunga yang ada di hadapannya.
Sesaat kemudian, kulihat
seorang wanita setengah baya keluar dari rumah.
“Ya ampun!” sahutku dalam hati.
Betapa kagetnya aku saat
melihat wanita itu. Aku kenal dia. Dia Bu Reta, dosen mata kuliah Structure-ku!
Jadi, rumah Bu Reta di sini? tanyaku dalam hati. Ada
hubungan apa Bu Reta sama sepupu saya?
Belum sempat aku menyelidiki
lebih jauh, HP-ku berbunyi.
***
Jam tanganku menunjukkan jam 4
sore. Fadil dan Dimas baru saja menyelesaikan tugas yang diamanahkan kepada
mereka untuk membuat proposal kegiatan Seminar Pendidikan yang direncanakan
akan diadakan tiga bulan lagi.
Karena kesulitan dalam beberapa
hal, mereka meminta bantuanku yang mereka pandang ahli dalam membuat proposal
yang bagus dan menarik. Padahal, tidak seperti itu juga.
“Ah, itu berlebihan,” kataku
pada mereka. “Kalian bisa lebih baik kok.”
“Betul Kak,” kata Fadil. “Di
kampus, pokoknya gak ada yang leih bagus proposalnya selain buatan Kak Edi. Top
abis!”
“Alhamdulillah kalo antum
bilang begitu, tapi sebaenya gak berlebihan.”
Aku mengantar kedua adik kelasku itu menuju
gang kampung, sebab jalan dari rumah menuju jalan raya cukup rumit dan
berkelok-kelok. Khawatir, mereka tersasar, kuantar mereka.
Tepat di depan gang kampung,
gadis yang selalu sendiri itu duduk di salah satu batu pinggiran jalan.
Terlihat di sana ia sedang mengelus-elus rambut bonekanya sambil menggumam
tidak jelas. Diambilnya beberapa daun yang berserakan di jalan lalu disuapkan
daun-daun itu pada bonekanya. Gadis itu, sudah berganti baju dan rambutnya tersisir
rapi namun kedua tapak tangannya kotor karena seringnya ia bermain pasir basah.
“Hati-hati, Kak,” bisik Dimas
padaku tepat di depan telinga. “Ada orang gila!”
Aku balik membalas bisikannya.
Kubisikkan tepat di depan telinga Dimas, “Dia sepupu saya…”
***
Bu Reta mulai menceritakan
kisahnya. Setelah dua kali menghela napas, akhirnya dosenku itu mau bercerita
tentang dirinya dan tentang gadis yang selalu sendiri itu.
“Bella itu putri Bu Erti,” kata
Bu Reta. Ternyata sepupuku itu bernama Bella.
Bu Reta, dengan sangat lancar
mengatakan bahwa 19 tahun yang lalu, dokter memvonisnya tidak akan mempunyai
anak. Padahal, ia sudah berumah tangga selama 14 tahun. Namun tak kunjung
dikaruniai seorang anak. Akhirnya, ia dan suaminya memutuskan untuk mengadopsi
seorang anak. Sebab, baginya, anak adalah pelita harapan kehidupannya. Ia dan
sang suami bekerja. Ia berpikir, buat apa bekerja jika tanpa ada anak yang
menghiasi hari-hari mereka.
“Pada saat rencana adopsi itu
ada, tiba-tiba Bu Erti dan adiknya datang ke rumah sambil membawa seorang bayi
mungil yang katanya baru berumur 3
hari,” kata Bu Reta.
Bu Reta diam sejenak lalu
melanjutkan ceritanya. Katanya, ia dan suami sangat senang dengan kehadiran
bayi mungil itu. Meski suami Bu Reta sempat was-was dengan kehadiran sang bayi
karena kehadirannya yang begitu tiba-tiba dan mengundang tanya, tapi Bu Reta
tidak curiga sama sekali. Di benaknya hanya ada kegembiraan yang saat itu hadir
di hadapannya. Seorang anak yang diidam-idamkannya akhirnya datang.
Seiring waktu berlalu, Bu Reta
menemukan keganjilan-keganjilan pada sikap Bella. Dia pernah menyekolahkan Bella,
tapi tidak bertahan lama. Bella hanya sekolah hingga kelas 2 SD. Awalnya, Bella
bisa berkomunikasi meski sedikit-sedikit. Tapi saat ini Bu Reta sendiri merasa
kesulitan berkomunikasi dengannya.
“Ibu juga tidak tahu Bella
sakit apa,” kata Bu Reta. “Sudah banyak usaha yang ibu dan suami ibu lakukan
untuk mengobatinya. Dari yang medis, sampai alternatif, tapi hasilnya nihil.”
“Ibu tau nama adik Bu Erti yang
ikut ngantar bayi itu?” tanyaku.
“Kalo gak salah, namanya Sri,
eh, Sur… Surti. Ya, Surti! Kata orang-orang sih, rumahnya ada di kampung
sebelah, tapi gak tau jga. Ibu gak pernah mencari tau. Kok kamu tanya itu?”
“Bu Surti itu ibu saya…”
***

Aku baru saja pulang dari
perpustakaan kampus untuk mencari beberapa referensi skripsi, ketika kulihat di
salah satu sudut jalan ada kerumunan orang-orang. Karena penasaran, aku menghampiri
kerumunan itu.
Aku tersentak. Napasku terhenti
sejenak.
Gadis yang selalu sendiri itu,
dia tergeletak tak bernyawa dalam keadaan setengah telanjang di antara ilalang
tinggi. Sepupuku itu terbujur kaku dengan ceceran darah di sekujur tubuhnya. Di
wajah dan lengannya ada lebam bekas pukulan sesuatu.
Suara orang-orang yang
berkerumun mendadak hilang di telingaku. Teriakan-teriakan mereka untuk
memanggil Bu Reta memang terus menggema, tapi telingaku sudah kepalang tertutup.
Dadaku terasa panas melihat
kondisi sepupuku yang mengenaskan itu. Perlahan, air mataku meleleh. Entah, apa
alasanku menangis. Tapi aku tak bisa menahannya. Kaki dan tanganku serasa
gemetar manatapnya.
Kelebat kejadian beberapa hari
yang lalu melintas di dalam benakku.
“Ini memang salah Wak,” kata
Wak Erti ketika kudesak tentang Bella. Kubilang padanya semua kejadian yang
diceritakan Bu Reta padaku. “Setelah Wak Tarmin meninggal, seorang lelaki terus
mendekati Wak dan bilang ingin menikahi Wak.”
Aku mendengar setiap kata Wak
Erti dengan baik.
Ia bilang lelaki itu terus
mendekatinya dan bersedia menikahinya, meski Wak Erti sudah memiliki 4 anak. Karena
ia percaya akan bujuk rayu lelaki itu, Wak Erti mau melakukan sesuatu yang
dilarang. Hubungannya dengan sang lelaki membuahkan seorang anak. Anak itu
dinamakannya Bella. Namun, sang lelaki dengan berjuta alasan pergi entah
kemana. Ditinggalkannya Wak Erti dengan sebuah tanggung jawab baru.
Karena merasa Bella adalah aib
baginya, Bella diberikan pada seorang pasangan suami istri yang diketahuinya
tidak mempunyai anak.
“Barulah setelah itu Wak nikah
lagi sama Wak Wirya, bapaknya Lia,” jelas Wak Erti padaku.
Mungkin, karena itulah aku
menangis. Aku menangisi betapa pendek kehidupan Bella. Aku menangisi betapa menyedihkan
akhir dari liku-liku perjalanan Bella. Aku menangisi betapa berat kehidupan
orang seperti Bella yang kehadirannya tidak pernah diharapkan di dunia ini, hanya
karena semata-mata dosa yang dilakukan kedua orang tuanya.
Dan mungkin, aku menangis
karena tak ada lagi yang bisa kulakukan padanya, selain tangisan itu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar