Laman

Senin, 25 Agustus 2014

CERITA PENDEK 2

GADIS YANG SELALU SENDIRI

Gadis itu lewat di depan rumahku setiap pagi. Tepat jam 9 pagi. Di kedua tangannya tidak pernah lepas dari sebuah bungkusan hitam dan sebuah boneka yang sudah usang. Pakaiannya terlihat sederhana. Pernah suatu hari dia memakai kaos biru muda disambung celana pendek dengan motif garis-garis vertikal. Pernah juga kuperhatikan dia memakai baju berwarna merah muda dengan renda tak beraturan disambung dengan celana pendek berwarna hijau tua.

Tatap matanya kosong. Tidak ada sinar gairah kehidupan di kedua sorot matanya.
Aku tidak terlalu tahu berapa usia pastinya. Tapi, menurutku, usianya tidak lebih dari usia 25. Percaya atau tidak, dulu sewaktu aku kecil, aku pernah melihatnya satu sekolah denganku. Karena dulu aku tidak terlalu memperhatikannya, aku tidak tahu berapa beda angkatan tepatnya dia denganku. Hanya saja, dengan sikapnya yang aneh dan tidak lazim bagi kebanyakan orang, menjadikan wajahnya tampak jauh lebih tua dari usia aslinya.


Setiap kali lewat di depan rumahku, dia selalu sendiri. Tidak pernah ada orang yang menemaninya. Tidak seorang yang lebih tua, ataupun lebh muda.
Secara sepintas saja, siapapun akan langsung mengetahui bahwa gadis itu tidak normal. Kewarasannya sudah hilang entah kemana. Namuan, kupikir, untuk ukuran orang yang tidak waras, dia sangat rapi dan terawat. Tidak pernah kulihat dia memakai pakaian kumal. Bahkan, beberapa kali aku lewat di depannya di gang kampung, tidak tercium bau tidak sedap darinya.
Sebetulnya, dari dulu hingga sekarang aku tidak terlalu memperdulikannya. Hanya saja, ketika akhir-akhir ini aku mulai mengerjakan skripsi dan menghabiskan lebih banyak waktu di depan komputer, sudut mataku selalu menangkap sosoknya lewat di depan rumahku. Sebab, kebetulan, letak kamar dan letak komputerku membuatku mampu melihat siapa saja yang melintas di depan rumah. Lama kelamaan, aku penasaran juga untuk mencari tahu siapa dia.
Kali pertama, aku bertanya pada kakakku. Ia diam saja. Tidak ada satu katapun yang keluar dari lisannya. Malah, kemudian ia mengalihkan pembicaraan. Aku tidak mencecarnya terlalu jauh. Mungkin, kakakku sedang banyak pikiran. Sebab, yang kutahu, usaha suaminya sedang down. Dan itu berpengaruh juga pada dirinya.
Selanjutnya, aku bertanya pada ibuku. Mungkin saja ibu lebih banyak tahu. Berkali-kali aku bertanya pada ibu, selalu dijawab dengan desisan, “Ssstt!!”
Akan tetapi, pada akhirnya ibu menjawab pertanyaanku. Jawabannya sempat membuatku terbelalak beberapa saat karena kaget.
“Dia itu sepupu kamu.”
“Sepupu?! Dia anaknya siapa? Wak Asman atau Wak Erti?” tanyaku.
“Wak Erti.”
“Tapi, kenapa saya gak dikasih tau, Bu?”
“Udah ah, gak usah dibahas lagi. Jangan tanya-tanya melulu. Ibu lagi sibuk nih.”
Semenjak aku diberitahu ibu tentang gadis yang selalu sendirian itu, aku jadi lebih sering pergi ke rumah Wak Erti yang berada di sisi lain kotaku. Alasanku: silaturahim, main, kebetulan lewat, atau alasan apapun yang mungkin. Aku ingin tahu lebih banyak tentang gadis itu.
“Tumben nih, main ke sini. Biasanya setahun sekali, pas lebaran aja,” sindir Lia, putri bungsu Wak Erti yang baru duduk di kelas XI SMA, saat pertama kali aku main ke rumah Wak Erti.
Lia langsung ditegur ibunya, karena ucapannya dianggap tidak sopan. Meskipun, aku tahu, pertanyaan itu pasti ditanyakan pula oleh Wak Erti. Tapi beliau, lebih memilih untuk tidak menanyakannya.
“Emangnya gak boleh datang kalo belum lebaran, ya?” candaku pada gadis berkerudung itu.
“Ehmm, bukan gitu, Kak,” ujar Lia sambil mengunyah permen karet kesukaannya. “Ya, gak apa-apa sih. Datang tiap hari juga gak apa-apa. Cuma, aneh aja…”
“Udah, udah…” sergah Wak Erti. Lalu ia bertanya padaku, “Gimana kuliah kamu, Di? Udah beres?”
“Saya lagi nyusun skripsi, Wak. Doain aja supaya lancar.”
“Ya, ntar Wak doain biar kuliah kamu cepet beres. Mudah-mudahan Allah kasih kemudahan,” kata Wak Erti yang kuamini. “Kamu udah makan, belum? Kebetulan, Wak masak sayur asem hari ini. Tuh udah matang.”
Karena sungkan, aku memilih menjawab sudah makan siang di kantin kampus. Padahal, dari pagi perutku baru terisi sebuah roti Mang Jana.

Aku lebih memilih untuk menutupi alasan sebenarnya kedatanganku ke rumah Wak Erti. Sebab, dari sinyal-sinyal yang diberikan ibu padaku, menurutku Wak Ertipun tidak akan mau membahas tentang putrinya padaku. Ada suatu cerita gelap di balik sosok gadis yang selalu sendiri itu.
Namun, meski sudah serapat mungkin kututupi alasan sebenarnya, kupikir akhirnya Wak Erti bisa mengetahui arti kedatanganku. Sebab, dari beberapa kali kedatanganku, setiap pertanyaan selalu menjurus ke arah putra- putri Wak Erti.
“Kamu udah punya rencana nikah, Di?” tanya Wak Erti mencoba mengalihkan pembicaraan.
Aku berusaha sebisaku membuat obrolan kami mengalir sewajar mungkin. “Belum, Wak. Belum kepikiran.”
“Tapi, calonnya udah ada?”
Aku tersipu sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Belum.”
“Iya, bu,” Lia ikut-ikutan. “Lia pernah ke kampusnya Kak Edi buat ngikutin lomba, keliatannya Kak Edi tuh orang yang paling sibuk gitu… Orang sibuk kayak gitu mana mungkin mikirin pacaran, apalagi nikah.”
Aku hanya mengulum senyum menanggapi kata-kata Lia. Dalam hati, aku memang tidak pernah berpikir untuk berpacaran dengan siapapun. Tapi, kalau untuk menikah, terlintas di benakku beberapa kali. Meski itu tidak berlama-lama.
Sebenarnya, aku ingin mencontoh beberapa kakak kelasku yang menikah ketika kuliah, seperti Kak Ganda dan Kak Munandar. Tapi, aku belum punya keberanian melangkah ke arah sana seperti mereka.
“Wak, anak Wak ada berapa sih? Kata kakak ada 6, tapi kata ibu ada 5. Yang bener yang mana?” tanyaku.
Wak Erti diam sejenak.
“Anak wak tuh sebetulnya ada 6. Tapi, yang satu meninggal waktu masih bayi.”
“Oh, karena sakit?”
“Iya. Kenapa kamu tanya itu, Di?”
“Oh, e,mm, ng, gak apa-apa. Cuma pengen tau aja,” jawabku sedikit gelagapan.
Wak Erti menghela napas. Lalu beralih ke dapur. Ada sesuatu yang harus dikerjakannya, katanya.
***
 Gadis itu kembali lewat di depan rumahku. Tepat jam 9 pagi. Kali ini dia memakai kaos putih dengan gambar sebuah gapura di bagian depan. Dia berhenti tepat di depan pagar rumah. Lalu, sejenak dia menatap lurus ke arahku. Untuk beberapa saat kami saling berpandangan. Namun, buru-buru aku kembali fokus pada skripsiku.
Selepas gadis yang selalu sendiri itu pergi dari depan rumah, bergegas aku keluar rumah dan mengejarnya. Sambil menjaga jarak yang cukup aman untuk pengintaian, aku mengikuti gadis itu berjalan menyusuri jalan-jalan kampung.
Kuputuskan untuk mengikutinya sendiri karena ibuku tidak pernah lagi mau membahas tentang putri kakaknya itu. Bahkan ketika kutanya di mana dia tinggal, Ibuku lebih memilih diam.
Dalam pikiranku, gadis itu selalu lewat di depan rumahku tepat jam 9. Logikaku mengatakan, pasti tempat dia tinggal tidak terlalu jauh.
“Kalau ibu gak mau kasih tau, saya akan cari tau sendiri,” kataku pada ibu bersikeras.
“Sok aja,” ujar ibuku. “Tapi, kenapa kamu penasaran banget sih ama dia?”
Semula aku diam. Tidak ingin menjawab pertanyaan ibu. Tapi akhirnya kujawab juga, “Saya kasian aja, Bu. Liat dia lewat depan rumah kita tiap hari sendirian. Apalagi, Wak Erti sampe gak ngaku dia sebagai anak. Dia dianggap udah mati, padahal dia masih hidup, Bu. Dia masih hidup. Walau bagaimanapun, dia tetap anak Wak Erti kan?”
 Setelah sekitar 20-an menit aku mengikuti, akhirnya gadis itu masuk ke pekarangan sebuah rumah. Cat rumah itu dominan berwarna krem, namun sudah terlihat agak kusam di bagian bawah. Di depan rumah terdapat sebuah pohon jambu air yang rindang. Sementara di pinggir kiri-kanan rumah itu hidup tanaman rambat.
Gadis yang selalu sendiri___sepupuku___itu berdiri membatu di pekarangan rumah, sambil berbicara tidak jelas pada sang boneka. Gumaman-gumamannya semakin tidak jelas ketika dicobanya memetik salah satu bunga yang ada di hadapannya.
Sesaat kemudian, kulihat seorang wanita setengah baya keluar dari rumah.
“Ya ampun!” sahutku dalam hati.
Betapa kagetnya aku saat melihat wanita itu. Aku kenal dia. Dia Bu Reta, dosen mata kuliah Structure-ku!
Jadi, rumah Bu Reta di sini? tanyaku dalam hati. Ada hubungan apa Bu Reta sama sepupu saya?
Belum sempat aku menyelidiki lebih jauh, HP-ku berbunyi.
***
Jam tanganku menunjukkan jam 4 sore. Fadil dan Dimas baru saja menyelesaikan tugas yang diamanahkan kepada mereka untuk membuat proposal kegiatan Seminar Pendidikan yang direncanakan akan diadakan tiga bulan lagi.
Karena kesulitan dalam beberapa hal, mereka meminta bantuanku yang mereka pandang ahli dalam membuat proposal yang bagus dan menarik. Padahal, tidak seperti itu juga.
“Ah, itu berlebihan,” kataku pada mereka. “Kalian bisa lebih baik kok.”
“Betul Kak,” kata Fadil. “Di kampus, pokoknya gak ada yang leih bagus proposalnya selain buatan Kak Edi. Top abis!”
“Alhamdulillah kalo antum bilang begitu, tapi sebaenya gak berlebihan.”
 Aku mengantar kedua adik kelasku itu menuju gang kampung, sebab jalan dari rumah menuju jalan raya cukup rumit dan berkelok-kelok. Khawatir, mereka tersasar, kuantar mereka.
Tepat di depan gang kampung, gadis yang selalu sendiri itu duduk di salah satu batu pinggiran jalan. Terlihat di sana ia sedang mengelus-elus rambut bonekanya sambil menggumam tidak jelas. Diambilnya beberapa daun yang berserakan di jalan lalu disuapkan daun-daun itu pada bonekanya. Gadis itu, sudah berganti baju dan rambutnya tersisir rapi namun kedua tapak tangannya kotor karena seringnya ia bermain pasir basah.
“Hati-hati, Kak,” bisik Dimas padaku tepat di depan telinga. “Ada orang gila!”
Aku balik membalas bisikannya. Kubisikkan tepat di depan telinga Dimas, “Dia sepupu saya…”
***
Bu Reta mulai menceritakan kisahnya. Setelah dua kali menghela napas, akhirnya dosenku itu mau bercerita tentang dirinya dan tentang gadis yang selalu sendiri itu.
“Bella itu putri Bu Erti,” kata Bu Reta. Ternyata sepupuku itu bernama Bella.
Bu Reta, dengan sangat lancar mengatakan bahwa 19 tahun yang lalu, dokter memvonisnya tidak akan mempunyai anak. Padahal, ia sudah berumah tangga selama 14 tahun. Namun tak kunjung dikaruniai seorang anak. Akhirnya, ia dan suaminya memutuskan untuk mengadopsi seorang anak. Sebab, baginya, anak adalah pelita harapan kehidupannya. Ia dan sang suami bekerja. Ia berpikir, buat apa bekerja jika tanpa ada anak yang menghiasi hari-hari mereka.
“Pada saat rencana adopsi itu ada, tiba-tiba Bu Erti dan adiknya datang ke rumah sambil membawa seorang bayi mungil yang katanya baru berumur 3  hari,” kata Bu Reta.
Bu Reta diam sejenak lalu melanjutkan ceritanya. Katanya, ia dan suami sangat senang dengan kehadiran bayi mungil itu. Meski suami Bu Reta sempat was-was dengan kehadiran sang bayi karena kehadirannya yang begitu tiba-tiba dan mengundang tanya, tapi Bu Reta tidak curiga sama sekali. Di benaknya hanya ada kegembiraan yang saat itu hadir di hadapannya. Seorang anak yang diidam-idamkannya akhirnya datang.
Seiring waktu berlalu, Bu Reta menemukan keganjilan-keganjilan pada sikap Bella. Dia pernah menyekolahkan Bella, tapi tidak bertahan lama. Bella hanya sekolah hingga kelas 2 SD. Awalnya, Bella bisa berkomunikasi meski sedikit-sedikit. Tapi saat ini Bu Reta sendiri merasa kesulitan berkomunikasi dengannya.
“Ibu juga tidak tahu Bella sakit apa,” kata Bu Reta. “Sudah banyak usaha yang ibu dan suami ibu lakukan untuk mengobatinya. Dari yang medis, sampai alternatif, tapi hasilnya nihil.”
“Ibu tau nama adik Bu Erti yang ikut ngantar bayi itu?” tanyaku.
“Kalo gak salah, namanya Sri, eh, Sur… Surti. Ya, Surti! Kata orang-orang sih, rumahnya ada di kampung sebelah, tapi gak tau jga. Ibu gak pernah mencari tau. Kok kamu tanya itu?”
“Bu Surti itu ibu saya…”
***
Awan menggelap seiring dengan menggelapnya hari. Hembusan angin terasa lebih kencang dari 3 jam yang lalu. Terasa dingin sekali. Hari belum terlalu sore, namun tanda-tanda hujan menjadikan hari lebih gelap dari seharusnya. Kulihat seekor burung elang hanya berputar-putar saja di angkasa sana. Sepertinya, dia sedang mengintai seekor mangsa.
Aku baru saja pulang dari perpustakaan kampus untuk mencari beberapa referensi skripsi, ketika kulihat di salah satu sudut jalan ada kerumunan orang-orang. Karena penasaran, aku menghampiri kerumunan itu.
Aku tersentak. Napasku terhenti sejenak.
Gadis yang selalu sendiri itu, dia tergeletak tak bernyawa dalam keadaan setengah telanjang di antara ilalang tinggi. Sepupuku itu terbujur kaku dengan ceceran darah di sekujur tubuhnya. Di wajah dan lengannya ada lebam bekas pukulan sesuatu.
Suara orang-orang yang berkerumun mendadak hilang di telingaku. Teriakan-teriakan mereka untuk memanggil Bu Reta memang terus menggema, tapi telingaku sudah kepalang tertutup.
Dadaku terasa panas melihat kondisi sepupuku yang mengenaskan itu. Perlahan, air mataku meleleh. Entah, apa alasanku menangis. Tapi aku tak bisa menahannya. Kaki dan tanganku serasa gemetar manatapnya.
Kelebat kejadian beberapa hari yang lalu melintas di dalam benakku.
“Ini memang salah Wak,” kata Wak Erti ketika kudesak tentang Bella. Kubilang padanya semua kejadian yang diceritakan Bu Reta padaku. “Setelah Wak Tarmin meninggal, seorang lelaki terus mendekati Wak dan bilang ingin menikahi Wak.”
Aku mendengar setiap kata Wak Erti dengan baik.
Ia bilang lelaki itu terus mendekatinya dan bersedia menikahinya, meski Wak Erti sudah memiliki 4 anak. Karena ia percaya akan bujuk rayu lelaki itu, Wak Erti mau melakukan sesuatu yang dilarang. Hubungannya dengan sang lelaki membuahkan seorang anak. Anak itu dinamakannya Bella. Namun, sang lelaki dengan berjuta alasan pergi entah kemana. Ditinggalkannya Wak Erti dengan sebuah tanggung jawab baru.
Karena merasa Bella adalah aib baginya, Bella diberikan pada seorang pasangan suami istri yang diketahuinya tidak mempunyai anak.
“Barulah setelah itu Wak nikah lagi sama Wak Wirya, bapaknya Lia,” jelas Wak Erti padaku.
Mungkin, karena itulah aku menangis. Aku menangisi betapa pendek kehidupan Bella. Aku menangisi betapa menyedihkan akhir dari liku-liku perjalanan Bella. Aku menangisi betapa berat kehidupan orang seperti Bella yang kehadirannya tidak pernah diharapkan di dunia ini, hanya karena semata-mata dosa yang dilakukan kedua orang tuanya.
Dan mungkin, aku menangis karena tak ada lagi yang bisa kulakukan padanya, selain tangisan itu.
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar