Laman

Kamis, 04 September 2014

CERITA PENDEK 3

BONEKA PUDEL 2 VERSI

Versi 1
Aku berusaha memejamkan mata. Kucoba menenangkan diri ini. Meski sulit, aku tak ingin mengingat-ingat kejadi tadi siang. Aku benar-benar tak sudi untuk menyimpan kejadian itu dalam ingatan bawah sadarku.
Rasanya hati ini berkecamuk. Antara terluka, marah, sedih dan malu. Entah ada rasa apalagi. Aku tak sanggup mengukur diriku sendiri. Aku benar-benar tak percaya. Maksudku, aku benar-benar tak menduga Yudha melakukan hal itu padaku.
Apa karena dia tidak menyadari keberadaanku tadi siang? Ataukah dia dengan sengaja melakukannya di depanku? Padahal, dia kan tahu akau akan datang. Dasar cowok brengsek!
Aku menarik napas agak panjang. Aku ingin meredakan segala amarah ini.  Sulit. Sulit sekali. Kepalaku masih mendidih.
“Dasar bajingan….” Tak sadar aku bergumam pada diriku sendiri.
Kaki-kakiku yang tiba-tiba terasa pegal kuluruskan di sofa empuk rumah. Aku diam. Tercenung dalam raungan detik jam dinding. Huh, ini aneh. Jam dinding yang hanya berdetak kini seakan mencekam sekali suaranya.
Rumah memang sedang sepi. Semua orang rumah sedang di luar. Aku sengaja pulang cepat dari kampus. Muak melihat lelaki yang biasa kusebut “sayang’” itu.
Sayang, sayang. Apanya yang sayang??! Batinku maish saja menggerutu.
Pfuh, entah harus apalagi yang bisa kukatakan. Semuanya terhenti di tenggorokanku. Ingin kutumpahkan semuanya, namun aku selalu teringat kebaikannya.
“Tapi dia tetap saja cowok brengsek!” kataku pada diri sendiri.
Dua suara berkelibat memenuhi rongga telingaku. Yang satu terus mengingatkanku pada kebaikan Yudha. Yang satu terus mencemooh makhluk tak berperasaan itu karena kejadian tadi siang.
Ups, mataku malah terbuka.
Kupejamkan kembali. Aku ingin tidur saja. aku ingin tidur saja dan melupakan semuanya. Aku ingin pergi ke alam mimpi dan terbangun dengan suara Mama saja yang terdengar di telinga ini.
Napasku mulai teratur.
Pikiranku kembali melayang ke kampus tadi siang.
 
Jalanan di depan kantin fakultas ilmu komputer memang ramai. Apalagi di jam makan siang seperti itu. Kalau kita tak pandai-pandai mencari tempat, maka kita hanya akan kebagian tempat untuk berdiri saja. Walhasil, banyak mahasiswa yang lebih memillih duduk-duduk di taman dekat kantin. Di sana lebih luas dan menyenangkan, walau sedikit panas.
Aku sudah janji ketemuan dengan pacarku, Yudha. Cowok ganteng dari fakultas hukum yang kini sudah semester 7. Di awal aku ketemu dengannya, aku memang langsung melihat ada sesuatu yang beda dari dia dibanding pacar-pacarku yang dulu. Langsung klik gitu deh….
Sebuah bangku taman dekat kantin fakultas kupilih karena letaknya yang teduh dan kebetulan tidak terlalu ramai, walaupun tidak bisa kusebut sepi.
Yudha meneleponku setengah jam sebelumnya bahwa dia akan sedikit terlambat karena ada laporan yang harus diserahkan langsung pada dosen. Dan dia masih menunggu dosen itu, katanya. Aku sih percaya. Dia jujur. Tak pernah sekalipun berbohong padaku dari sejak 6 bulan kami berpacaran.
Jadi, aku duduk-duduk saja sambil menyeruput minuman yang baru kubeli. Kubuka Samsung Galaxy Tab-ku yang selalu setia menemani. Iseng-iseng saja kubuka email. Lalu akun facebook-ku. Akun tweeter-ku. Pfuh, tak ada yang istimewa.
Kulirik jam di tab. Wah, sudah hampir setengah jam aku menunggu.
“Udah beres belum ya dia?” gumamku. Kucoba meneleponnya.
Tak ada jawaban.
Sesaat kemudian aku melihatnya. Aku melihat Yudha, tapi tidak sendiri.
Dia bersama gadis lain.
Aku mulai panas namun tak beranjak sediktpun dari dudukku. Pikiranku berkecamuk, antara ingin langsung ku damprat tapi tertahan dengan pikiran lain yang mengatakan sebaliknya.
Kulihat dengan mata kepalaku sendiri Yudha berdiri menghadap gadis itu dan memberi boneka pudel yang beberapa hari lalu aku tunjukkan sebagai boneka favoritku. Yudha memberi gadis itu boneka pudel itu dengan sedikit memaksa. Namun si gadis perayu itu seperti berpura-pura menolak tapi terlihat tersipu. Malu-malu akhirnya diterima juga boneka dari Yudha.
GRRRRRR…….!!!! Keterlaluaaaaan!!! Teriakku dalam hati.
Tak sudi aku menghampiri mereka. Tak sudi aku bicara dengan Yudha. Selamanya!
Entahlah, waktu itu aku lebih memilih pergi daripada meminta penjelasan pada Yudha. Huh, lagipula, penjelasan apalagi yang bisa diberikan oleh cowok playboy dan cewek gatel seperti mereka?!
Benar-benar memuakkan!
Kubanting sampah minumanku ke arah tempat sampah. Tak peduli tepat masuk atau tidak.

Versi 2
Aku senang sekali. Sebentar lagi aku akan makan siang bersama pacarku, Erinda. Kemarin aku sudah meneleponnya dan janji bertemu saat makan siang di kantin fakultas ilmu komputer. Kupikir, kantin di sana lebih nyaman dibanding kantin lainnya karena di sebelahnya terdapat taman yang terbilang luas dan hijau.
Aku suka. Kubayangkan, makan siang bersama Erinda. Berdua saja. hihiihihi….
Aku berjalan di lorong fakultas. Berusaha menemui Bu Noortiana, dosen Tata Negara untuk menyerahkan tugas laporanku.
“Kemana dia ya?” gumamku sambil terus melirik jam tanganku.
Ah, seharusnya aku sudah pergi untuk bertemu Erinda. Bisa telat nih…
Sambil menunggu Bu Noortiana di ruang dosen, kubongkar tasku dan menatap hasil karya laporanku yang harus kuserahkan langsung padanya. Aku sudah terlambat sehari menyerahkannya. Harus kuserahkan langsung, pokoknya.
Kumasukkan kembali laporanku dan kukeluarkan sebuah boneka anjing pudel yang kemarin baru saja kubeli.
Aku tahu Erinda pasti senang kubelikan boneka yang, kata orang, imut ini. Aku tahu karena minggu lalu saat kami jalan-jalan ke mall, dia terus menatap ke arah boneka ini. Tapi karena aku tidak bawa uang berlebih, aku pura-pura saja tidak tahu, hehehe….
Biarin aja ah, biar penasaran. Besok-besok aku jadiin kejutan aja… begitu pikirku saat itu.
Kulirik lagi jam tanganku. Wah wah wah, beneran bisa terlambat nih. Langsung saja kuhubungi Erinda. Kukatakan padanya kalau aku sedang menunggu dosen untuk menyerahkan laporanku dulu. Kemungkinan aku akan terlambat setengah jam.
“Semoga saja sebentar lagi aku bisa segera ketemu Bu Noor…”
Sesaat kemudian, mataku menangkap sosok Bu Noor sedang berjalan menjauhi ruang dosen. Dengan sigap aku langsung mengejarnya. Kuserahkan tugas laporanku yang seharusnya kuserahkan sehari sebelumnya.
Segera aku meluncur menuju kantin fakultas ilmu komputer.
Bergegas dan napas hampir terngah-engah namun hati berbunga-bunga, aku berlari kecil menuju fakultas ilmu komputer. Tangan kananku masih menggenggam boneka pudel yang akan kuberikan pada Erinda sebagai hadiah kejutan.
Beberapa meter dari kantin fakultas ilmu komputer, langkah kakiku terhenti oleh sahutan seorang gadis. Aku tidak mengenalnya.
“Ya?” tanyaku.
Dia mendekatiku perlahan dan sedikit ragu. “Anu…” ujarnya. “Maaf mas… sa, saya Hana. Mas gak kenal saya. Saya juga gak kenal mas. Tapi…”
Aku masih menunggu kata-kata berikutnya. “terus…?”
“Eu… anu… maaf, ganggu. Begini,” katanya menjelaskan. “Boneka yang mas pegang itu beli di mana ya?”
Aku mengangkat alis. Boneka? “Boneka anjing ini?” tanyaku. Kujawab saja kalau aku membelinya di mall kemarin.
Lalu gadis itu, Hana, menceritakan kalau adik bungsunya sedang sakit keras dan harus diambil tindakan medis berupa operasi. Nah, kebetulan, adiknya itu sangat menginginkan sebuah boneka anjing pudel, baru dia mau dioperasi. Orang tuanya sudah membujuk dengan membelikan beragam boneka, tapi hanya boneka anjing pudel yang adiknya inginkan.
“Makanya, pas saya liat mas bawa boneka itu, saya langsung memberanikan diri bertanya mas. Jangan marah ya,” ujarnya.
Aku terdiam sejenak,
“Sa, saya… kalau boleh, boneka itu saya beli aja mas. Bisa gak?”
Aku sudah membuka mulut tapi masih bingung mau berkata apa. Ini betul-betul di luar dugaan. Di satu sisi ini hadiah kejutan untuk Erinda. Tapi di sisi lain boneka ini juga ternyata punya pengaruh terhadap kesehatan seseorang.
Lalu entah kenapa aku langsung menyodorkan boneka pudel itu pada Hana, gadis yang tak pernah kukenal sebelumnya. Refleks saja.
Aku melihatnya tersenyum gembira. “Makasih mas, berapa saya harus bayar boneka ini?”
Aku menolak uang yang disodorkan Hana. Aku berniat memberikannya cuma-cuma.
“Gak apa-apa mas, biar saya beli saja. biar saya gak punya hutan.”
Aku tetap menolaknya. “Gak apa-apa mba. Ambil aja. Ini Cuma boneka kok. Mudah-mudahan operasi adiknya lancar ya…”
Dia sedikit bersikeras untuk membeli bonekaku. Tapi akupun tak kalah tegas menolak uanganya. Hingga akhirnya dia menyerah dan merasa sangat berterimakasih padaku.
Aku senang bisa membantu orang lain, apalagi sampai berhubungan dengan kesehatan dan nyawa seseorang.
“Oh iya!” aku hampir lupa kalau aku sudah punya janji dengan Erinda di kantin ini. Aku menoleh ke sana kemari mencari-cari cocok Erinda.
Ini aneh, aku tidak menemukannya di manapun. Kucoba meneleponnya berkali-kali, namun tak ada respon. Teleponku tak diangkat.

Erinda di mana ya? Apa karena aku terlalu lama terlambat ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar